Penghasilan Sampingan

Jumat, 16 Maret 2012

Sintesis Biofilm Ubi Jalar Yang Mengandung Antimikroba Dari Kitosan Sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan Dan Bioindikator Kerusakan Ikan Tongkol

Ikan merupakan sumber pangan hewani yang mengandung protein, vitamin, mineral serta asam amino esensial yang merupakan sumber nutrisi penting bagi tubuh manusia. Ikan merupakan produk segar yang mudah rusak dan merupakan masalah yang umum bagi konsumen, produsen serta penjual makanan. Selain umur yang relatif singkat ikan juga dapat menimbulkan keracunan karena proteinnya yang tinggi sehingga mikroorganisme patogen dapat tumbuh dan mengeluarkan toksin yang mengakibatkan keracunan (Zubaidah dkk, 2006).

Salah satu produk yang mudah rusak dan sering mengakibatkan keracunan adalah ikan tongkol. Menurut Purnomo (2002) ikan tongkol memiliki daya awet singkat yaitu 3 – 4 hari. Kondisi penyimpanan dalam distribusi dan penjualannya yang dalam keadaan terbuka sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba pembusuk ataupun patogen yang dapat menghasilkan senyawa beracun. Salah satu jenis keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol adalah keracunan histamin (scombroid fish poisoning) karena ikan jenis ini mengandung asam amino histidin yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin.

Selama ini penyimpanan ikan tongkol hanya dilakukan dengan es batu sehingga ikan tongkol tahan beberapa hari saja. Selain itu, kualitas kesegaran ikan tongkolpun biasanya melalui kualitas organoleptik (Wardani, 2001). Cara tersebut menurut Mansion (2003) dirasa kurang akurat karena bersifat subyektif dan tidak bisa menjamin bahwa ikan tongkol masih layak dikonsumsi. Terlebih Budiman (2002) menyatakan bahwa biasanya ikan tongkol disimpan dalam kondisi dingin dan lebih sulit untuk menentukan tingkat kerusakan ikan tongkol. Sehingga diperlukan suatu metode pengemasan yang multifungsi selain dapat memperpanjang umur simpan ikan tongkol juga dapat mendeteksi kerusakan ikan tongkol secara cepat, tepat dan aman. Salah satu teknologi yang dapat memperpanjang umur simpan dan sekaligus sebagai indikator kerusakan adalah dengan menggunakan edible film.

Edible film merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi suatu bahan pangan dan layak makan, digunakan pada makanan dengan cara membungkus makanan, pencelupan, atau penyemprotan. Edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan, memperpanjang masa simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan uap air, gas, dan lipid, sebagai pembawa food ingredients, serta meningkatkan integritas structural pada makanan (Robertson, 1992). Edible film dibuat dari polisakarida seperti dari pati umbi-umbian tepung tapioka (Purwitasari, 2001), pati ganyong (Fitriana, 2002), pati garut (Proborini, 2006) dan pati ubi jalar (Safitri, 2006). Selama ini edible film dikenal cuma sekedar pengemas primer yang aman untuk produk makanan dan linkungan untuk meningkatkan daya simpan produk tersebut. Belum ada upaya untuk meningkat mutu dari edible film sebagai pengemas yang multifungsi yang dapat memperpanjang dan mendeteksi kerusakan pada produk pangan, seperti ikan tongkol.

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dari edible film adalah dengan penambahan kitosan. Kitosan sendiri merupakan polimer karbohidrat alami termodifikasi turunan dari kitin, yang dapat yang dapat ditemukan secara luas pada sumber alam seperti kulit yang dapat ditemukan secara luas pada sumber alam seperti kulit crustaceae, jamur, jamur serangga dan beberapa alaga(Tolaimate etall, 2000). Kitosan juga merupakan senyawa antibakteri dan dapat mengurangi perpindahan uap air, sehingga dapat memperpanjang umur simpan ikan tongkol.

Selain untuk meningkatkan umur simpan ikan tongkol, upaya untuk meningkatkan fungsi dari edible film adalah sebagai bioindikator kerusakan ikan tongkol dengan penambahan pigmen antosianin dari ubi jalar ungu. Menurut Kumalaningsih (2006) pigmen antosianin dapat berubah warna seiring dengan perubahan PH dari asam atau basa. Antosianin menghasilkan kisaran warna dari berwarna merah sampai biru yang dapat dijadikan bio indikator pH. Menurut Anonymous (2009) menyatakan kandungan antosianin ubi jalar ungu berkisar antara 14,68 – 210 mg/100 gram bahan. Besar kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu tergantung pada intensitas warna pada umbi tersebut. Semakin ungu warna umbinya, maka kandungan antosianinnya semakin tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar